Anggota Komisi VII DPR RI Mempertanyakan Menurunnya Kontribusi PT. Aneka Tambang Tbk. bagi Penerimaan Negara
Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI ke prov. Maluku Utara
Penerimaan negara dari sektor pertambangan yang dikelola PT. Aneka Tambang Tbk. (Antam) baik dari royalti Kontrak Kerja maupun dari pajak cenderung menurun. Tren penurunan terlihat mulai tahun 2009. Royalti pada tahun 2007 mencapai Rp. 282.793 juta, pada tahun 2008 turun menjadi Rp. 195.018 juta dan pada tahun 2009 turun lagi menjadi Rp. 120.359 juta, sementara pada triwulan I tahun 2010 sebesar Rp. 39.210 juta.
Hal itu terungkap saat Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI melakukan pertemuan dengan Presiden Direktur PT. Aneka Tambang Tbk.,Alwin Syah Loebis beserta jajarannya, di Ruang Halmahera Hotel Bela Internasional Ternate Maluku Utara baru-baru ini.
Anggota Komisi VII DPR RI, Agus Sulistyono (F-PKB) mempertanyakan apakah turunnya penerimaan negara itu karena fluktuasi harga hasil tambang di pasar global atau memang ada penurunan kapasitas produksi. Anggota Komisi VII DPR RI, Heriyanto (F-PD) menambahkan, penurunan kontribusi kepada negara ini sangat drastis . PT. Antam dulu sangat luar biasa, sekarang mengapa bisa turun pendapatannya. Heriyanto juga mempertanyakan mengapa proyek di Halmahera Selatan terhenti.
“Apa penyebabnya? Apakah royalty kepada pemda kurang?, PT. WBN harus membina hubungan baik dengan pihak pemda dan tenaga kerja lokal harus diprioritaskan”, tandas Heriyanto menegaskan.
Anggota Komisi VII DPR RI Bobby Adhityo Rizaldy (F-PG) mempersoalkan adanya pinjaman luar negeri yang dilakukan PT. Weda Bay Nickel.(WBN), PT. Antam selaku pemilik 10% saham PT. WBN tentunya akan terbebani bunga pinjaman dan cicilan hutang.
“Pinjaman itu atas nama PT. Weda Bay Nickel atau Eramet selaku pemilik saham 90%?. Karena implikasinya berbeda. Lahan tambang merupakan konsesi PT. Antam, selaku Badan Usaha Milik Negara, seharusnya PT. Antam tidak terbebani hutang dari investor. Semestinya Strand Minerals-nya yang kena hutang”, Ujar Bobby menegaskan. Bobby juga mempertanyakan masih digunakannya teknologi kuno dalam pengolahan limbah sulfur.
Transfer Pricing
Anggota Komisi VII DPR RI, Muhammad Idris Lutfi (F-PKS) mencurigai adanya permainan harga nikel di tingkat dunia, atau yang dikenal dengan “transfer pricing”, mengingat Eramet dan Mitsubishi merupakan 2 perusahaan yang banyak menggunakan nikel dalam produksinya. Kedua perusahaan ini memiliki saham di StrandMinerals. Idris mengatakan hal itu pernah terjadi pada PT. Inalum sehingga merugi.
External Relation Manager PT. WBN, Yudi Santoso memaparkan, pengolahan limbah sulfur menggunakan reaktor. “Kami membuat pabrik asam sulfat, prosesnya merupakan reaksi isotherm yang menghasilkan energi panas. Steam yang dihasilkan bisa memutar turbin untuk menghasilkan energi listrik. Sementara asam sulfat dipakai untuk proses pemisahan mineralnya”, tukas Yudi menjelaskan.
Terkait penanganan limbah, Kepala Bidang Pertambangan Batubara dan Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup, Vinda Damayanti Asjar mengatakan, yang menjadi titik berat bukan dari teknologi posesnya tetapi output-nya. Bagaimana emisi udara, air limbah, dan limbah B3. Penimbunan sulfur berbentuk limbah residu padat. Vinda menambahkan, perusahaan wajib mensosialisasikan kepada KLH dan mengkaji bersama resiko terhadap lingkungan.
Ketua Tim Kunjungan Kerja Komisi VII DPR RI, Teuku Riefky Harsha mengatakan Kontrak Kerja Pertambangan harus mengimplementasi UU Minerba yang baru. Terkait turunnya pendapatan negara dari sektor pertambangan, Teuku Riefky berpendapat, peningkatan pendapatan negara harus terus diupayakan, tetapi jangan sampai merugikan lingkungan.
“Kami ingin Halmahera masih tetap hijau saat proyek Antam dan WBN selesai berproduksi”, ujar Teuku Riefky mengakhiri pembicaraannya. (K-7.Malut-3.Rn-TVP)